Saturday, September 19, 1998

Selesaikan BLBI dan BMPK, atau Menjadi Terpidana

Selesaikan BLBI dan BMPK, atau Menjadi Terpidana
KOMPAS - Sabtu, 19 Sep 1998 Halaman: 3 Penulis: GUNAWAN, TJAHJA Ukuran: 9446
SELESAIKAN BLBI DAN BMPK,
ATAU MENJADI TERPIDANA

HARI Senin tanggal 21 September 1998 boleh jadi merupakan hari
yang kurang menggembirakan, bahkan menyakitkan bagi para pemilik bank
"sakit". Hari itu mungkin bisa pula disebut sebagai "hari pembalasan"
bagi para bankir/pengusaha nakal. Pasalnya, hari itu merupakan batas
waktu yang diberikan pemerintah kepada para pemilik bank sakit untuk
menyelesaikan soal pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
dan pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang saat
ini sudah berjumah Rp 141,920 trilyun.

PENGEMBALIAN BLBI itu bisa berupa uang tunai, saham, atau
penyerahan aset. Sedangkan penyelesaian BMPK, kredit yang disalurkan
kepada grup, harus bisa dikurangi menjadi maksimum 20 persen dari
modal bank, sesuai dengan peraturan perbankan mengenai BMPK.
Secara tidak langsung, BLBI dan BMPK berkaitan erat. Bank
Indonesia menyuntikkan dana yang disebut BLBI, karena bank mengalami
rush dari nasabah sementara persediaan dana tunai di bank tak memadai.
Mengapa tidak cukup, karena sebagian besar dana pihak ketiga (nasabah)
di bank itu telah berwujud kredit ke berbagai perusahaan.

Ironisnya, menurut pelacakan kepolisian, hampir 90 persen dari
kredit itu masuk ke kelompok bank, ya kepada pemiliknya itu. Hanya
sekitar 10 persen dari dana nasabah yang dikucurkan kepada umum, dan
dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil, tetapi rekeningnya banyak.
Mayoritas kredit tetap kepada kelompok bank, dan ditutupi. Itu mudah
terjadi karena pengawasan Bank Indonesia yang juga teramat lemah
selama ini.

Lepas dari itu, bila sampai 21 September 1998, pemilik bank sakit
belum bisa membereskan soal BMPK dan BLBI dipastikan akan kehilangan
aset dan saham bank. Bahkan sangat mungkin harta kekayaan pribadi para
pemilik bank itu, baik yang terdapat di dalam maupun luar negeri, akan
ikut lenyap seandainya tidak mampu mengembalikan BLBI.

Namun Corporate Secretary Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), Christovia Wiloto, meski pemerintah sangat tegas dalam hal
itu, para nasabah bank tak usah khawatir. Bank itu aman, yang dituntut
adalah pelanggaran pidana dan perdata yang dilakukan komisaris dan
direksi bank itu saja.

Lebih dari itu, para owner (pemilik) bank sakit itu bisa pula
berurusan dengan polisi atau kejaksaan bidang pidana khusus jika
seandainya terdapat delik aduan dari masyarakat atau mereka diketahui
telah melanggar BMPK sebagaimana diatur dalam UU Perbankan yang hanya
boleh memberikan kredit kepada perusahaan satu grup maksimal 20 persen
dari modal bank.

Bank sakit yang harus mengembalikan BLBI dan menyelesaikan BMPK
itu adalah sebagian bank swasta yang pernah menjadi pasien BPPN. Bank
masuk BPPN jika BLBI yang dipakai telah melebihi 500 persen dari modal
bank.

Menurut Kepala BPPN Glenn MS Yusuf, jumlah bank swasta yang wajib
mengembalikan BLBI dan menyelesaikan BMPK sebanyak 14 bank terdiri
dari 10 bank beku operasi (BBO) dan empat bank take over (BTO).
Kesepuluh bank BBO terdiri tujuh bank yang dibekukan operasinya 4
April 1998 yaitu Bank Istismarat, Bank Surya, Bank Subentra, Bank
Hokindo, Bank Pelita, Bank Deka, dan Bank Centris. Sedangkan tiga bank
yang operasinya dibekukan tanggal 21 Agustus 1998 terdiri Bank Umum
Nasional (BUN), Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), dan Bank
Modern.

Di luar BBO itu, ada empat bank BTO yang harus mengembalikan BLBI
terdiri dari BCA, Bank Danamon, Bank PDFCI, dan Bank Tiara. Menurut
Kepala BPPN Glenn MS Yusuf, ke-14 bank swasta itu semuanya
berkewajiban mengembalikan BLBI dan menyelesaikan BMPK tanggal 21
September 1998. Tapi dari 14 bank itu, hanya Bank Danamon dan BCA yang
mempunyai dua persoalan sekaligus, yakni kewajiban mengembalikan BLBI
dan menyelesaikan BMPK.

Namun menurut Presdir Bank Tiara, Eksir Mumfujana, Bank Tiara
tidak termasuk bank yang harus mengembalikan BLBI tanggal 21 September
1998. Kepada wartawan setelah rapat umum pemegang saham luar biasa
(RUPSLB) di Jakarta, Jumat (18/9), Eksir menjelaskan, jumlah simpanan
Bank Tiara anjlok dari Rp 419,47 milyar per tanggal 31 Maret 1998
menjadi Rp 201,68 milyar per 11 September 1998.

"Kami memang pernah menerima BLBI sebesar Rp 2,5 trilyun, dan
sampai sekarang baru bisa mengembalikan Rp 125 milyar. Mungkin BPPN
melihat, aset yang dimiliki Bank Tiara sebesar Rp 6,3 trilyun bisa
meng-cover dana BLBI yang kami terima," kilah Eksir.

Mengapa isu BMPK dikejar, sehingga menimbulkan kesan pemerintah
akan menghabisi kroni-kroni Soeharto. Corporate Secretary BPPN,
Christovia Wiloto, mengatakan hal itu disebabkan kredit yang
dikucurkan BCA dan Bank Danamon melebihi 20 persen dari modal bank
itu, adalah kepada kelompok perusahaan dalam grup bank itu. "Jadi yang
dikejar dalam kasus BMPK adalah posisi komisaris sebagai debitor yang
mendapatkan kredit dari bank sendiri," katanya.
***

PENGERTIAN BTO pada empat bank tersebut tidak lagi sekadar diambil
alih BPPN, tetapi sebagian sahamnya sejak 21 Agustus 1998 lalu sudah
dikuasai pemerintah. Sementara aset tujuh bank yang dibekukan 4 April
1997 telah dialihkan ke Asset Management Unit (AMU), organ dari BPPN.
Aset itu termasuk tagihan kepada para debitor sebesar Rp 5,7 trilyun,
dana sekitar Rp 24 milyar, aktiva tetap (nilai buku) sekitar Rp 160
milyar, serta anak perusahaan dari tujuh bank itu.

Penyelesaian proses likuidasi bank-bank tersebut akan dilakukan
setelah seluruh asetnya selesai dipindahkan ke AMU dari BPPN.
Sedangkan kasus perbankan pada bank-bank tersebut, baik yang bersifat
perdata maupun pidana, akan segera diserahkan penanganannya kepada
instansi berwenang.

Sedangkan terhadap empat bank BTO yaitu BCA, Bank Danamon, Bank
PDFCI, dan Bank Tiara, pemerintah telah menerima pernyataan dari para
pemilik/pendiri empat bank itu mengenai kesediannya menyerahkan
sejumlah dana dan aset.

Pemerintah menghendaki agar jumlah dana dan aset yang akan
diserahkan 21 September 1998 dapat mencukupi jumlah kredit yang
disalurkan kepada grup dan bisa menyelesaikan BLBI. Pada tanggal itu
pula kepemilikan saham empat bank BTO akan menjadi jelas. Tapi keempat
bank BTO itu dipastikan tidak akan dibekukan, seperti ditegaskan
Kepala BPPN Glenn MS Yusuf.

Kalau misalnya keluarga Sudono Salim yang selama ini menjadi
pemegang saham mayoritas BCA, tidak bisa menyerahkan dana dan aset
untuk mencukupi jumlah kredit yang disalurkan kepada grup dan
menyelesaikan BLBI, dengan sendirinya seluruh kepemilikan saham dan
aset BCA dikuasai pemerintah.

Skenario lain, seandainya keluarga Sudono Salim bisa mengembalikan
BLBI yang berjumlah sekitar Rp 30 trilyun, namun tidak bisa
menyelesaikan kasus BMPK, besar kemungkinan keluarga taipan ini masih
akan menjadi pemegang saham minoritas di BCA. Tetapi bukan berarti
pemilik saham lama BCA itu terbebas dari pelanggaran hukum.
Sedangkan terhadap 16 bank swasta yang dilikuidasi (BDL) tanggal
1 November 1997 tidak termasuk dalam urusan BPPN karena lembaga ini
baru dibentuk bulan Januari 1998. Sehingga ke-16 bank swasta itu tidak
terkait dengan kewajiban untuk mengembalikan BLBI pada tanggal 21
September 1998.

Ke-16 bank itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, An-rico Bank
Ltd, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna
Internasional, Sejahtera Bank Umum, serta Bank Umum Majapahit Jaya,
Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South
East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta
Dhanamanunggal.

Akan tetapi komisaris dan manajemen 16 bank yang dilikuidasi itu
tetap harus bertanggung jawab atas talangan dana nasabah yang dibayari
pemerintah Rp 5,4 trilyun (pertama Rp 2,3 trilyun dan selanjutnya Rp
3,1 trilyun). Berdasarkan peraturan tentang likuidasi bank, harta
pribadi komisaris dan pengelola bank pun akan diusut untuk
mengembalikan dana talangan itu. Untuk itu telah dibentuk tim
likuidasi tersendiri yang dibentuk ketika Mar'ie Muhammad menjabat
Menkeu.

Tambahan pula, polisi sedang sibuk melakukan proses pemeriksaan
terhadap direksi dan pemilik bank BDL, antara lain pemeriksaan
terhadap komisaris dan direksi Bank Andromeda. Langkah tersebut lebih
terkait dengan masalah pidana yaitu pelanggaran BMPK.

Menurut Glenn MS Yusuf, proses pemberian dan pengembalian BLBI
sepenuhnya merupakan masalah perdata. Karena itu pemanggilan Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) terhadap para
komisaris dan direksi bank beku operasi lebih berkaitan dengan masalah
perdata yakni proses pengembalian BLBI.

Pertanyaannya sekarang, apakah semua bank itu bisa mengembalikan
BLBI dan menyelesaikan BMPK? Lepas dari itu, jika memang dua masalah
itu tak diselesaikan, komisaris menghadapi dua kemungkinan sekaligus;
kehilangan saham di bank dan masuk bui. (Tjahja Gunawan)

Grafik Pemberian BLBI untuk Bank Sakit
(Dalam trilyun rupiah)
BDNI 27,6
Bank Danamon 25,8
Bank Umum Nasional 6,8
Bank Exim 2,1
Bank Tiara 2,5
Bank PDFCI 2,1

Sumber: Laporan BPPN, 15 Mei 1998
sadnowo

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home