Wednesday, February 24, 1999

Pemilik Bank Juga Didesak Berperan Soal Pesangon

Pemilik Bank Juga Didesak Berperan Soal Pesangon
KOMPAS - Rabu, 24 Feb 1999 Halaman: 1 Penulis: MON/LL/GUN Ukuran: 4989
PEMILIK BANK JUGA DIDESAK BERPERAN SOAL PESANGON

Jakarta, Kompas
Kelangsungan pembahasan pesangon bagi pekerja bank yang akan
dilikuidasi, serta kemungkinan penempatan sebagian pekerja di sejumlah
bank masih terus berlangsung. Soal skema dan jumlah pesangon sendiri
belum diputuskan bentuknya, tetapi rapat maraton terus berlanjut.
Kesaksian dari pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)
sebelumnya juga ditampung, demikian pula pengejaran terhadap tanggung
jawab pemilik bank.

"Belum bisa saya utarakan skema dan jumlah pesangon untuk pekerja
bank. Ada kekhawatiran pekerja bank yang kemungkinan kena likuidasi
itu berharap terlalu banyak. Namun yang jelas, pemerintah kini
bertarung dengan waktu, agar relatif memuaskan pekerja bank yang
terkena PHK," kata Corporate Secretary Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), Christovita Wiloto, Selasa (23/2).

BPPN kini ditugasi juga memikirkan soal pengamanan kepentingan
pekerja. "Kita sekarang sedang melakukan testimony approach atau
pendekatan terhadap para pekerja bank yang pernah terkena PHK untuk
mendapatkan masukan," kata Christovita. Hal itu, katanya, dilakukan
untuk mencari bentuk dan jumlah pesangon yang relatif bisa memuaskan
pekerja bank.

Minggu (21/2) lalu, Direktur Bank Indonesia Subarjo Joyosumarto
mengatakan, hal yang dibahas soal pekerja bank sekarang ini bukan
sekadar skema dan jumlah pesangon. "Kita juga sedang memikirkan agar
tidak muncul opini dari pekerja di sektor nonperbankan, bahwa telah
terjadi praktik diskriminasi," katanya.

Maksudnya, kini sedang dijaga agar tak muncul kesan bahwa
pemerintah hanya serius menangani kepentingan pekerja di perbankan,
sementara pekerja di sektor lain kurang mendapatkan perhatian.

Tanggung jawab bankir
Sehubungan dengan soal pesangon untuk pekerja, pemerintah kini
juga mengejar para pemilik bank agar turut berperan mengeluarkan
dana memberikan pesangon. Namun sejumlah kalangan menilai, upaya
Bank Indonesia untuk menuntut tanggung jawab bankir sangat
diragukan, termasuk pengejaran harta-harta pribadi bankir untuk
menutupi kewajiban bank.

Pendapat itu disampaikan sejumlah pengamat dalam berbagai
kesempatan, yakni ahli hukum ekonomi dan perbankan, Pradjoto SH,
Prof Dr Anwar Nasution, dan Dr Prijono Tjiptoherijanto.
"Krisis ekonomi telah dijadikan alasan bagi pengusaha untuk
ngemplang utang. Namun gaya hidup mereka tetap mewah meskipun
usahanya sudah bangkrut dan ribuan tenaga kerja menganggur," kata
Pradjoto, yang mengindikasikan pengusutan tanggung jawab para
bankir tidak maksimal.

Menurut Pradjoto, yang menjadi korban krisis ekonomi hanya
tenaga kerja karena perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut,
sehingga perbankan kesulitan menagih kredit kepada debitor.
Padahal, dalam setiap perjanjian kredit selalu ada klausul yang
menyebutkan jaminan fisik dan harta pribadi. "Seharusnya perbankan
bisa menagih utang sampai ke harta pribadi pengusaha," tegas
Pradjoto.

Senada dengan itu, seorang pengembang perumahan anggota REI,
juga mengakui gaya hidupnya tidak berubah meskipun utang ke bank
menumpuk dan pembangunan rumah terhenti. "Pengembang umumnya masih
memiliki uang yang diperoleh sebelum krisis. Pembayaran utang ke
bank terhenti karena sulit mencairkan aset," katanya.

Pengembang itu melanjutkan, tidak ada alasan bagi perbankan
menagih utang hingga harta pribadi. "Kami 'kan menjaminkan proyek ke
bank, yaitu tanah dan bangunan rumah. Jadi kalau pengembalian kredit
dari kami tersendat, sita saja aset kami itu. Jangan harta pribadi
kami yang disita," katanya enteng.

Ekonom dari UI, Dr Prijono Tjiptoherijanto, juga mengatakan,
yang menjadi korban utama akibat krisis ekonomi sebenarnya didominasi
tenaga kerja, karena perusahaan tempat mereka bangkrut. Sementara
pemilik perusahaan tidak begitu terpengaruh karena mereka memiliki
alasan untuk menangguhkan bahkan ngemplang utang.

Hal itu terjadi, sambung Prijono, karena aturan yang ada tidak
diterapkan secara sungguh-sungguh sehingga pengusaha bisa ber-leha-
lehaseenaknya. Mereka bisa mengabaikan pembayaran utang ke bank
dengan dalihkrisis ekonomi, meskipun bank berwenang menagih debitor
hingga ke harta pribadinya.

Prof Anwar Nasution juga menandaskan, pengejaran terhadap harta
pribadi mutlak harus dilakukan. "Kenapa Arifin Panigoro yang dikejar,
sedangkan kroni Soeharto tidak," kata Nasution yang lagi-lagi
menunjukkan pemerintah tidak sepenuhnya serius mengejar tanggung jawab
pengusaha, kecuali pengusaha yang dianggap sebagai musuh politik.
Dia melihat sikap pemerintah benar-benar "mencla-mencle" dan tidak
memiliki garis tegas soal pengusutan tanggung jawab bankir serta
pengusaha lainnya. "Harusnya pemerintah tegas. Jangan heran selama
aturan main tidak ditegakkan, masalah ekonomi tidak akan tuntas,"
demikian Nasution. (mon/ll/gun)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home