Sunday, September 27, 1998

BPPN Terapkan Pola Kontrak Manajemen

BPPN Terapkan Pola Kontrak Manajemen
KOMPAS - Minggu, 27 Sep 1998 Halaman: 1 Penulis: GUN/MON/PPG/TOM Ukuran: 6618
BPPN TERAPKAN POLA
KONTRAK MANAJEMEN

Jakarta, Kompas
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memilih untuk melakukan
pengambilalihan saham dan menerapkan pola kontrak manajemen terhadap
aset-aset industri yang diserahkan Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank
Take Over (BTO).

Sebuah sumber mengungkapkan, pola seperti yang diterapkan
terhadap aset-aset industri yang diserahkan Grup Salim dianggap
sebagai pola yang paling feasible sekarang. Dengan cara seperti ini,
bukan hanya nilai aset tidak menurun drastis, tetapi perusahaan bisa
tetap jalan dan para pekerja yang ada di industri itu tidak harus
kehilangan pekerjaan.

Menurut sumber itu, BPPN tidak mau terjerembab seperti yang
dialami Swedia tahun 90-an. Dalam menuntaskan krisis perbankan,
pemerintah Swedia membentuk sebuah badan yang disebut Securum.
Dalam menangani kredit macet, Securum bertindak terlalu gegabah.
Tanpa melihat efek jangka panjang, Securum segera menjual aset-aset
dengan harga murah. Putusan ini bukan hanya membuat banyak perusahaan
bangkrut, tetapi banyak pihak yang ikut dirugikan, seperti para
pekerja yang kehilangan mata pencaharian. Para pengusaha akhirnya
mengajukan gugatan terhadap Securum.

Kecuali aset-aset Grup Salim dan Gajah Tunggal yang sudah mencapai
kesepakatan awal, penentuan nilai aset dengan bank-bank lainnya hingga
Sabtu (26/9) masih terus dimatangkan.

Penyesuaian
Mengenai silang pendapat tentang penilaian aset, Menkeu Bambang
Subianto menjelaskan, perbedaan nilai antara pemilik bank dengan
auditor internasional terjadi karena adanya adjusment mengenai
kualitas dari portofolio bank-bank bersangkutan. "Semula disebut
lancar, setelah di-adjust ternyata tidak termasuk kategori lancar.
Jadi adjusment itu menurut norma-norma bukan dari akuntansinya, tetapi
norma dalam menilai kesehatan bank," ujar Menkeu.
Secara terpisah Kepala BPPN Glenn MS Yusuf, melalui Corporate
Secretary R Christovita Wiloto membantah adanya pembantaian dengan
menekan harga aset yang diserahkan. "Tentu pemilik bank menginginkan
asetnya dinilai tinggi. Tetapi pemerintah tak mau menerima begitu saja
nilai aset berdasarkan versi pemilik itu," katanya.

Dalam penilaian aset, BPPN memegang asas transparan, fairness, dan
berdasarkan pekembangan nilai pasar. Untuk itu BPPN dibantu Danareksa,
Bahana, Lehman Brothers, dan JP Morgan. Paling tidak tercatat ada 60
orang tenaga asing, termasuk forensic auditor yang dilaporkan dibayar
7.000 dollar AS (sekitar Rp 7 juta) per hari.

Seorang pemilik bank menilai upaya penyelesaian Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang dilakukan BPPN amat merugikan pihaknya.
Ia sependapat dengan penilaian sebuah konsultan yang menganggap
"kesepakatan mengikat" (binding agreement) yang ditawarkan BPPN
sebagai kesepakatan bunuh diri.

"Demi negara ini, saya siap memberikan apa yang diminta untuk
memenuhi kewajiban saya memenuhi BLBI. Namun, saya tidak terima kalau
ini menginjak harga diri saya, apalagi jika dilakukan perusahaan asing
yang sama sekali tidak mengerti bangsa ini," ujar sumber itu.
Ia mempersoalkan sistem penentuan jumlah kewajiban BLBI yang harus
dikembalikan serta penghitungan nilai aset yang diserahkan. Jumlah
kewajiban bisa meningkat dua kali dari nilai yang diterima, sementara
nilai aset dihitung begitu rendah.

Hal lain yang amat memberatkan adalah keharusan pihak pemilik bank
untuk menyerahkan tambahan harta pribadi dalam bentuk jaminan
(hold-back/escrow/security/ option) untuk jangka waktu 20 tahun. Belum
lagi keharusan seluruh anggota keluarga ikut menanggung beban dan
kemungkinan untuk tetap dituntut secara perdata maupun pidana.
Pemilik bank makin dirugikan, karena pinjaman-pinjaman kepada
pihak ketiga yang telah disalurkan, sama sekali tidak dihitung.
Padahal jumlah itu cukup besar dan berpotensi untuk menghilang jika
tidak dicermati.

Ia melihat wajar bila kalangan perbankan kini memilih untuk
mengembalikan pengelolaan kepada pemerintah. Di tengah kondisi sulit
seperti sekarang, bankir hanya dianggap sebagai liabilities daripada
pihak yang seharusnya ikut dituntut untuk menumbuhkan kepercayaan.
Jan Hoesada dari Komite Standar Akuntansi Keuangan IAI saat
ditanya soal perbedaan penilaian aset mengatakan, sangat sulit untuk
bisa menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian. "Kami sulit
memastikan, karena kami tidak pernah menilai kontrak penilaian yang
mereka lakukan. Jadi ini amat tergantung metode yang digunakan."

Meski demikian, tutur Jan, sebodoh-bodohnya orang yang menilai
aset-aset tadi, distorsi yang terjadi tidak harus demikian besar.
Jan menjelaskan, kalangan akuntan selama ini selalu menempatkan
nilai aset dalam neraca berdasarkan harga pembelian atau perolehan.
Sementara untuk penilaian aset berdasar kondisi sekarang adalah
appraisal (penilai). "Jadi, bisa jadi ada perbedaan dalam metode
penilaian yang ada," tambahnya.

Menyeluruh
Lepas dari persoalan penilaian aset yang masih belum tuntas,
seorang pengusaha besar yang dekat dengan pemerintah mengingatkan,
upaya menarik kembali BLBI yang disalurkan kepada bank-bank swasta
nasional hendaknya dilakukan dalam kerangka menyelesaikan persoalan
secara menyeluruh. Ibaratnya, pemerintah harus bisa menangkap ikannya,
tanpa harus membuat keruh kolamnya.

"Kalau saja pendekatan politis dan lebih didasarkan kepada upaya
"pembumi-hangusan", jangan harap ekonomi negeri ini akan bisa pulih,"
ujar pengusaha itu.

Namun pengusaha kapal tanker, Setiawan Djody juga mengingatkan
agar BPPN jangan sampai menjadi keranjang sampah aset BBO dan BTO.
BPPN harus waspada terhadap kemungkinan pemilik lama bank untuk
menyerahkan aset busuk yang tak bernilai ketimbang menyerahkan
perusahaan yang masih produktif dan masih mendatangkan income.

Menurut Djody yang dikenal sebagai pimpinan perusahan Setdco,
BPPN seharusnya mengambil minimal 51 persen aset perusahaan yang
benar-benar bernilai agar dapat dijadikan subsidary company. "Kalau
holding company yang akan dibentuk BPPN akan di-go public-kan,
perusahaan bersangkutan tidak dapat dijadikan anak perusahaan."
Pemerintah sendiri sebagaimana disinyalir Menkop Adi Sasono,
menduga pemilik BBO dan BTO memiliki sejumlah dana di luar negeri.
Penelitian BI yang didapatkan Kompas juga menunjukkan adanya dana
BLBI yang dilarikan pemilik bank. Dana itu harus bisa didapatkan
kembali oleh BPPN. (gun/mon/ppg/tom)