Thursday, November 25, 1999

Rp 24 Trilyun, Biaya Merger Tujuh Bank

Rp 24 Trilyun, Biaya Merger Tujuh Bank
KOMPAS - Kamis, 25 Nov 1999 Halaman: 1 Penulis: FEY/HAR/IKA Ukuran: 6071
RP 24 TRILYUN,
BIAYA MERGER TUJUH BANK

Jakarta, Kompas
Biaya merger tujuh bank yang diambil alih pemerintah (bank
take over/BTO), yakni Bank Danamon, Bank PDFCI, Bank Jaya, Bank Pos
Nusantara, Bank Duta, Bank Tiara Asia dan Jaya Bank Internasional,
sekitar Rp 22 trilyun-Rp 24 trilyun, sudah meliputi biaya
rekapitalisasi ketujuh bank tersebut.

Demikian Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) Farid Harianto pada dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Rabu
(24/11), yang dipimpin Abdullah Zainie (Fraksi Golongan Karya).
"Merger membutuhkan biaya, karena harus membayar
deposan-deposan di bank itu. Kalau ditutup, biayanya bertambah lagi.
Pilihannya hanya seperti itu," kata Farid.

Dengan merger, lanjut Farid, rasionalisasi karyawan pasti
tidak dapat dihindarkan, seperti halnya dengan merger empat bank BUMN
menjadi Bank Mandiri.

Dijelaskan pula, sembilan bank peserta program rekapitalisasi
(Bank Lippo, Bank Patriot, Bank Prima Express, Bank Media, BII, Bank
Bukopin, Bank Universal, Bank Niaga, Bank Bali) sudah tidak lagi
mengalami negative spread. Kini Bank Bali dan Bank Niaga berstatus
sebagai bank take over.

"Bank-bank itu setiap bulan sudah mengalami untung, kecuali
dua dari sembilan bank itu yang pada akhir tahun masih akan merugi.
Kerugian yang muncul tidak bisa ditutupi dengan keuntungan setelah
rekapitalisasi. Namun kecenderungan negative spread-nya sudah hilang,
bank-bank itu sudah membukukan positive spread pada bulan-bulan
berjalan," papar Farid.

Mengenai lambannya penanganan terhadap pencekalan para bankir
dari 38 bank beku kegiatan usaha, Staf Ahli Kepala BPPN Arwin Rasyid
menjelaskan, hal tersebut bukan semata-mata akibat kinerja BPPN yang
lambat. Melainkan karena proses rekapitalisasinya cukup membutuhkan
banyak waktu, sehingga memberi kesan lambat.

Mengenai pengeluaran dana oleh BPPN, Wakil Kepala BPPN
lainnya, Slamet Sumantri menuturkan, pengeluaran BPPN dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, pengeluaran untuk 10 bank
beku operasi (BBO) dan 38 bank beku kegiatan usaha (BBKU) yang
ditanggung BPPN. Kedua, pengeluaran BPPN sendiri.

"Untuk 10 BBO dan 38 BBKU, pengeluaran terbesar adalah
pembayaran kepada pihak ketiga yang harus dibayar BPPN, yakni Rp 16
trilyun. Sementara pengeluaran untuk pesangon eks karyawan BBO dan
BBKU mencapai Rp 700 milyar. Untuk operasional 700 kantor BBO dan BBKU
mencapai Rp 238 milyar," jelas Slamet.

Di samping itu, BPPN juga harus menanggung tunggakan pajak
ke-10 BBO dan 38 BBKU itu. Sebagian besar bank tersebut menunggak
pajak sejak tahun 1996. "Bulan lalu saja BPPN harus membayar Rp 146
milyar tunggakan pajak atas nama sejumlah BBO dan BBKU," tambahnya.
Pengeluaran untuk operasional internal BPPN sendiri, demikian
Slamet, sampai September lalu mencapai Rp 600 milyar. "Jumlah itu
belum termasuk biaya operasional seluruh kantor cabang BPPN yang
mencapai Rp 93 milyar," ujarnya.

Secara terpisah, Wakil Kepala BPPN Eko Budianto kepada pers
mengatakan, Rabu pekan depan BPPN akan mengumumkan 20 obligor
terbesar yang tersangkut dengan 41 persen total kredit yang
ditangani BPPN.

Agency Secretary BPPN Christovita Wiloto memaparkan, ke-20
obligor itu adalah Grup Barito, Humpuss, Bob Hassan, Bakrie, PSP,
Tirtamas, Napan, Tirtobumi, Jayanti, Bimantara, Sekar, Bahana,
Dharmala, Kalla, Ongko, Gunungsewu, Danamon, Nugrasantana, Kodel,
dan Agromanunggal.

Kasus Bank Bali
Mengenai kasus Bank Bali, Kepala BPPN Glenn Yusuf mengatakan,
ada "indikasi menarik yang perlu diteliti" dari transfer dana skandal
Bank Bali dan pelepasan saham Bank Bali kepada Deutsche Boerse
Clearing (DBC).

"Sebenarnya ini tugas Bapepam untuk meneliti. Ini berkaitan
dengan indikasi menarik, yakni timing yang sangat kebetulan antara
pelepasan saham oleh pemegang saham mayoritas BB pada 4 Juni dengan
transfer dana skandal BB tanggal 2 Juni. Saya nggak mengatakan ada
apa-apa, saya hanya mengatakan perlu diteliti," kata Glenn.

Glenn menekankan, rekapitalisasi BB adalah hal yang jauh lebih
penting dibandingkan siapa yang mengelola BB. Mempersoalkan hal-hal
lain di luar rekapitalisasi, menurut Glenn, hanya akan menunda
rekapitalisasi dan mengakibatkan biaya rekapitalisasi BB akan makin
memberatkan.

"Yang penting kita rekapitalisasi dulu Bank Bali, kita
stabilkan dulu. Makin mundur, makin tidak baik. Mengenai siapa yang
mengelola, apakah Standard Chartered Bank atau yang lain, itu nomor
dua. Yang penting Bank Bali stabil dan ada manajemen yang dapat
membawa Bank Bali kembali menjadi bank yang baik," jelas Glenn.
Farid Harianto menegaskan, BPPN akan tetap mengelola BB hingga
terselenggaranya right issue, yang dijadwalkan Bank Indonesia
berlangsung akhir Desember 1999.

Farid menjelaskan, 45 karyawan BB yang diskors dan seorang
karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja telah diminta kembali
bekerja. "Namun mereka harus dapat bekerja sama dengan tim pengelola
Bank Bali yang dibentuk BPPN," tambah Farid.

Direktur Perdagangan Bursa Efek Jakarta (BEJ), Harry Wiguna
secara terpisah menyatakan, penghentian sementara (suspend)
perdagangan saham BB di Bursa Efek Jakarta belum dicabut, karena
sampai sekarang tim pengelola BB belum memenuhi permintaan soal
keterbukaan informasi. "Kita maunya cepat buka suspend-nya agar
perdagangan bisa dilanjutkan karena menyangkut investor yang sudah
tanam duit," kata Harry kepada pers, Rabu.

Belum lama ini pihak BEJ telah meminta pihak pengelola BB
menyampaikan keterbukaan informasi mengenai hal material (hal-hal yang
mempengaruhi rasional pemodal untuk membeli atau menjual saham
perusahaan tersebut). "Akan tetapi mereka belum bisa kasih pernyataan
itu sampai sekarang. Mereka berjanji akan mengeluarkan nanti kalau
sudah mau right issue, padahal kalau mau right issue harus ada
persetujuan dari BEJ," tegasnya. (fey/har/ika)