Ditetapkan, Kriteria Bagi Pembeli Aset Bank
KOMPAS - Kamis, 18 Feb 1999 Halaman: 1 Penulis: CC/MON Ukuran: 6592
DITETAPKAN, KRITERIA BAGI PEMBELI ASET BANK
Jakarta, Kompas
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menggariskan sejumlah
kriteria, yang akan diterapkan pada calon pembeli aset dari pemilik
bank yang telah dibekukan dan diambil alih pemerintah. Pemilik awal
bank itu sendiri tetap dimungkinkan sebagai pembeli, dengan sejumlah
persyaratan. Namun ditandaskan, BPPN akan tegas atas berbagai manuver
yang mungkin saja terjadi dalam penjualan aset itu.
Demikian penjelasan Kepala BPPN, Glenn MS Yusuf, lewat Corporate
Secretary BPPN, Christovita Wiloto, menjawab sejumlah pertanyaan
Kompas, di Jakarta, Rabu (17/2).
Penjual aset itu tetap dilakukan pemilik lama bank-juga pemilik
holding company(perusahaan induk) yang mengelola sejumlah aset yang
telah diagunkan ke BPPN. "Meski mereka masih berstatus sebagai
pemilik, namun BPPN menempatkan tenaga sendiri sebagai pemantau di
perusahaan induk itu. Semua langkah penjualan dan lainnya harus atas
persetujuan dan dikontrol secara ketat oleh BPPN," katanya.
Di tempat terpisah, mantan Presiden Komisaris Bank Danamon Usman
Atmadjaja menolak berkomentar, ketika ditanyai apakah ia sedang
menawarkan atau berminat membeli sendiri aset Bank Danamon. "Saya
sudah tidak ikut-ikut lagi. Kalau Anda mau wawancara, saya tidak bisa
berkomentar," ujarnya singkat.
Menurut Glenn, aset yang akan dijual itu adalah sejumlah
perusahaan yang berada di bawah sejumlah holding company(perusahaan
induk) yang telah diagunkan. Itu merupakan imbalan atau jaminan atas
pembayaran utang-utang mereka ke pemerintah. Utang tersebut, berada
di dalam bank mereka, berupa bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
serta tuntutan untuk penyelesaian batas maksimum pemberian kredit
(BMPK). Rincian dari aset-yang akan dijual setidaknya paling lambat
dalam tempo empat tahun itu-tersaji pada tabel.
Untuk itu, BPPN telah menyusun sejumlah kriteria yang diupayakan
semaksimal mungkin dipenuhi investor. Pertama, investor berusaha
sebaik-baiknya untuk tetap mempekerjakan karyawan-karyawan lama.
Kedua, mengimplementasikan program kepemilikan saham oleh karyawan
dan memberikan beberapa insentif lainnya. Ketiga, upaya kontribusi
pada pengembangan industri kecil dan menengah. Keempat, upaya
perbaikan kemampuan sumber daya manusia Indonesia melalui program-
program pelatihan. Kelima, penjagaan lingkungan hidup yang sesuai
dengan standar internasional. Keenam, promosi program pengembangan
masyarakat yang berorientasi pasar di seluruh Indonesia.
Ditambahkan, program divestasi atas aset-aset itu diharapkan
menghasilkan dana antara Rp 80 trilyun sampai Rp 100 trilyun, setara
10-12 milyar dollar AS dalam jangka waktu empat tahun. Tahap pertama,
ditargetkan penerimaan Rp 27 trilyun dari penjualan.
Terdapat lebih 100 perusahaan dalam holding companyitu. Rincian
perusahaan itu antara lain berbasis properti, yang mewakili 30 persen
dari seluruhnya. Sisanya berbasis industri yang bervariasi, yang
berada di 11 sektor, seperti agrobisnis, otomotif, kayu lapis,
pangan, usaha eceran, kimia. Lainnya adalah sektor industri batu
bara, granit, semen, jasa keuangan, dan jasa komunikasi serta
komputer.
Namun itu baru mencakup aset dari pemilik enam bank-yang telah
dilakukan penandatanganannya untuk diserahkan sebagai agunan utang ke
BPPN-yakni, Soedono Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Mohamad
Hasan dan Kaharudin Ongko (keduanya BUN), Sudwikatmono
(Surya/Subentra),
Usman Admajaya (Grup Danamon), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).
BPPN tidak bersedia menjelaskan perihal pemilik bank lainnya.
Namun seorang pemerhati perbankan mengatakan, penyerahan aset dari
pemilik bank-bank kecil belum bersedia ditandatangani BPPN. "Soalnya
pemilik bank itu baru menyerahkan aset, yang di mata BPPN kurang
memadai," kata sumber itu.
Bukan mendadak
Christovita mengatakan, tindakan divestasi bukan mendadak,
tetapi memang merupakan bagian proses awal dalam serangkaian
divestasi aset. "Yang jelas, negara juga butuh dana," kata
Christovita. Ketika ditanyakan apakah situasi sudah mendukung untuk
penjualan aset, ia menjawab, "Sebenarnya pihak asing sedang
menunggu," katanya.
Ditambahkan, BPPN juga menyadari kekhawatiran soal nilai
penjualan yang jauh lebih rendah dari nilai riil perusahaan, seperti
terjadi di Thailand-yang lebih dulu melakukan penjualan aset pemilik
bank yang dilikuidasi. "Karena itu kita tidak melakukan penjualan
sekaligus. Yang kita beli adalah waktu, menunggu kondisi," kata
Christovita.
Dalam penjualan aset itu, sebagaimana disinyalir Theo F
Toemion-yang pertama kali mensinyalir soal penjualan aset itu-ada
kemungkinan investor adalah pemilik awal juga meski dengan memakai
nama lain. "Sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang segala
persyaratan sudah dipenuhi, seperti semua utang mereka ke bank-yang
dikuasai BPPN-sudah dilunasi. Dan untuk itu kita sudah punya
strategi, lengkap dengan perlengkapan aspek legal yang berlaku di
dunia internasional maupun di Indonesia," katanya.
"Dalam divestasi itu, jelas BPPN (negara) tidak mau rugi, serta
tidak bisa mengabaikan asas transparansi," katanya. Sebabnya, BPPN
harus melaporkan secara berkala-untuk mempertanggungjawabkan dan
membuktikan independensi dalam proses divestasi dan aspek lainnya-
kepada DPR, Financial Sector Action Committee-yang beranggotakan
sejumlah menteri membidangi ekonomi-Independent Review Committee
(IRC)-beranggotakan beberapa perwakilan dari Bank Pembangunan Asia,
IMF, Bank Dunia, dan sejumlah konsultan internasional. (cc/mon)
Rincian Aset yang Digadaikan ke BPPN (Rp trilyun)
1. Grup BCA (Soedono Salim) Rp 47,751
2. Grup BDNI (Sjamsul Nursalim) Rp 28,408
3. Grup BUN (Mohamad Hasan) Rp 6,159
4. Grup BUN (Kaharudin Ongko) Rp 7,839
5. Grup Danamon (Usman Admadjaya) Rp 12,322
6. Grup Modern (Samadikun Hartono) Rp 2,499
7. Grup Surya-Subentra (Sudwikatmono) Rp 1,887
8. Grup Hokindo (Hokiarto) Rp 347
9. Grup Deka (Dewanto Kurniawan) Rp 206
10 Grup Centris (Andri Tedjadharma dkk) Rp 735
11 Grup Istismarat (Hashim Djojohadikusumo)*Rp 539
12 Grup Pelita (Hashim Djojohadikusumo) Rp 2,594
Keterangan: *) Sebelumnya Bank Kredit Asia.
Sumber: Financial Sector Action Committee, 1998.