Belajar dari Kesuksesan dan Kegagalan
Kamis, 29 April 2004 SWA
Oleh : Sudarmadi
http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=311
Banyak faktor menentukan gagal atau suksesnya wirausahawan. Mereka harus siap tahan banting, punya semangat baja untuk terus melaju, dan mau belajar terus dari berbagai pengalaman.
"Saya bersyukur mundur dari BPPN dan berwirausaha sendiri. Kalau tidak, saya akan seperti teman-teman yang pusing mencari pekerjaan,? ujar Christovita Wiloto, mantan Kepala Humas BPPN yang sudah membangun perusahaan kehumasan sendiri. ?Setidaknya, sekarang saya punya pendapatan tiga kali lipat dibanding saat di BPPN," lanjutnya ingin menunjukkan bahwa ia telah mengambil pilihan tepat -- meski tak mudah -- sebagai wirausahawan.
Christov - panggilan akrabnya -- memang pantas tersenyum lebar. Wiloto Corporindo, perusahaan kehumasan yang dirintisnya sejak empat tahun lalu kini sudah membuahkan tanda-tanda kemajuan. Tidak kurang dari 25 proyek telah ia tangani dan sekitar 12 klien besar sedang digarap, seperti: Grup Agung Podomoro (Pakubuwono Residence), Bank Permata, Newmont, CIMB (Malaysia).
Dengan 15-an karyawan, Christov optimistis dengan pilihan bisnis yang dia geluti. Padahal, ketika memulai usahanya dulu, boleh dibilang hanya bermodal pengalaman dan kemampuan. Tabungan senilai Rp 30 juta habis digunakan untuk menyewa kantor di Plaza Sentral dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain. Tidak jarang di awal memulai usaha, ia sempat kesulitan uang membayar gaji karyawan, sehingga terpaksa meminta istri dan ibunya untuk membantu dengan menjual kalung emasnya.
Tak sedikit pengusaha muda yang jatuh-bangun merenda sukses seperti halnya Christov. Pengalaman George Utomo, Cathy Maria Goretti, Erik Suryaputra, Agung Wijaya, dan yang lainnya kurang-lebih sama. Mereka ini wirausahawan yang mencoba konsisten dengan pilihannya dan berusaha fokus di bidang yang menjadi keahliannya. Christov, umpamanya, karena ia memang memiliki kompetensi di bidang komunikasi, maka Wiloto Corporindo bergerak di bidang komunikasi. Ia tak sekadar sebagai public relations yang menjembatani kliennya dengan media, melainkan juga terlibat dalam manajemen strategi, melakukan bisnis intelijen, investor relations dan lobi-lobi.
Begitu pula Cathy Maria Goretti, pemilik Christopher Beauty Centre. Ia menggeluti bisnis salon -? kini memiliki 38 gerai Salon Christopher -- setelah selama 9 tahun bekerja di Jhonny Andrean. Posisi terakhir sebagai Kepala Sekolah Penata Rambut dan Manajer Quality Control sebelum tahun 1999 cabut untuk mendirikan usaha sendiri. Yang menarik pada Cathy ketika mulai serius membangun bisnisnya Februari 2000, ia menerapkan apa yang diyakininya, bahwa SDM itu penting dan lebih baik mengajarinya dari nol. Maka, ia sengaja merekrut tenaga dari nol yang tak punya keahlian menata rambut. "Lebih mudah mengajar yang belum berpengalaman. Mereka lebih serius belajar dan loyalitas lebih tinggi," kata Cathy yang membuka gerai pertama di ITC Mangga Dua, Jakarta, dengan dana sekitar Rp 200 juta.
Untuk menangani SDM-nya, Cathy menyediakan tempat pelatihan khusus untuk melatih para pemula. Ia pun tak segan-segan mengirim anak buah belajar ke luar negeri. Selama empat tahun ini Cathy melakukan departemenisasi untuk memudahkan manajemen. Ada lima divisi, yakni divisi SDM, kualitas dan pengembangan mutu, finansial dan akunting, purchasing, legal dan tax, serta promosi. Setelah Salon Christopher semakin besar, Cathy tak mau bermain terlalu sempit dengan hanya menyasar kalangan atas. Caranya, Salon Christopher hadir di tempat-tempat yang beragam. Ia tak hanya buka di pusat perbelanjaan kelas atas, seperti Plaza Semanggi atau Tunjungan Plaza, Surabaya, melainkan juga buka di mal-mal menengah-bawah. "Saya tak mau memilah segmen pasar," tutur hair dresser yang sempat mengecap pendidikan di Pivot Point, Las Vegas ini.
Seperti halnya Cathy, George Utomo,pemilik Video Ezzy, termasuk pengusaha muda yang gigih menggolkan usahanya. Menyadari bahwa bisnis yang dia geluti, yakni bisnis rental VCD, bukan hal yang baru, George mencoba terobosan baru yang belum permah terlihat di pasar. Selama ini rental VCD hanya dikelola kumpulan anak-anak muda yang minim profesionalisme dengan dukungan lokasi yang kurang nyaman. George kemudian hadir dengan deferensiasi: rental VCD dengan ruangan luas dan nyaman, bernuansa modern dan bersih, serta pilihan VCD lengkapVideo Ezzy yang didirikannya langsung mendapat respons pasar. George yang belum pernah bekerja buat orang lain terus memutar otak. Ia pun lantas mengembangkan Video Ezzy ke berbagai lokasi, terutama yang di sekitarnya banyak tinggal mahasiswa.
Melihat sukses yang dicapainya, keponakan Teddy P. Rachmat, bos Astra International ini langsung menggarap bidang baru, yakni bisnis online brokerage melalui Indofinanz.com dan bisnis pembiayaan buat kalangan UKM (mikrofinancing) yang sejak didirikan dua tahun lalu telah berhasil merangkul 60 ribu UKM. Menurut George, hanya Indofinanz yang kinerjanya kurang bagus. Didirikan pada Maret 2000 oleh George bersama tiga temannya, Indofinanz yang membidangi layanan online trading dan portal pasar modal yang menyajikan informasi transaksi saham di lantai bursa secara online dan real time hingga sekarang cenderung berjalan stagnan. ?
Tapi, yang penting kami harus bisa bertahan," ujar George. Kalau awalnya revenue ditargetkan mencapai Rp 150 juta/bulan, sekarang hanya mendapatkan Rp 30-40 juta/bulan. "Bagaimana lagi, sangat sulit membangun bisnis ini menjadi lebih besar," sambungnya jujur. Bagi George, Indofinanz bisa bertahan di saat sekarang saja sudah cukup.Dari pengalaman menggarap Indofinanz, ada pelajaran menarik buat George. Asumsi Internet booming di tahun 2000 ternyata tak seindah mimpi yang dibayangkan. Kesalahan George, ia ikut-ikutan menggarap bisnis ini, padahal penetrasi Internet di Indonesia amat jauh dibanding di negara-negara maju.
Untungnya, George masih memiliki dua sekoci lain, bisnis rental dan pembiayaan. "Saya terlalu tergesa-gesa memasuki industri ini dan kurang perhitungan," ujar George mengevaluasi dirinya.Sudah pasti kegagalan bisa dilihat sebagai bagian dari biaya pembelajaran. Cathy pun sebenarnya pernah gagal sebelum sukses mengibarkan Salon Cristopher. Ia pernah membuka salon pada 1980-an, berkat bujuk rayu seorang temannya. Ketika itu ia tanpa bekal keahlian karena belum punya pengalaman bekerja di salon. Untuk itu ia menempatkan seorang pengelola.
Namun, bisnisnya hanya 8 bulan berjalan, karena ternyata sang teman menipu.Dari sini Cathy mendapat pelajaran, menerjuni bisnis salon ternyata harus menguasai dan ahli. "Jangan cepat percaya dengan seseorang walaupun dia ahli," kata Cathy. Menurutnya, untuk terjun di suatu bidang tertentu, harus punya kompetensi sendiri, selain harus kerja keras, konsisten dan berkomitmen tinggi.Bagi kebanyakan wirausahawan muda, sering kali kegamangan muncul di saat memulai usaha. Ketika menghadapi realitas merintis bisnis sendiri teryata tak semudah yang diimpikan, pikiran lantas goyah. Tak sedikit yang kemudian tergoda atau setidaknya ingin kembali menekuni profesi karyawan. Apalagi, bila di tengah jalan ditawari pekerjaan dengan posisi dan kompensasi amat menggiurkan. Kegamangan seperti ini sering memicu terbentuknya wirausahawan tanggung yang berujung kegagalan.
Christov membenarkan situasi tersebut, karena pernah perasaan serupa berkecamuk dalam dirinya. Tahun pertama mendirikan perusahaan kehumasan, Christov mulai resah karena ternyata tak mudah mencari klien. Ia sempat berpikir lebih enak menjadi karyawan. Apalagi, ketika itu ditawari perusahaan besar untuk mengisi posisi amat strategis dengan kompensasi mengejutkan. Ia sempat berpikir mau pindah. Namun kemudian teringat bahwa ia telah memutuskan menjadi wirausahawan. Akhirnya, ia lupakan semua kemungkinan kembali sebagai karyawan itu. "Saya tersadar, harus membakar kapal masa lalu," tutur Christov analogis.
Kemudian, bila bisnis telah berjalan, soal kemampuan dan kedisiplinan manajerial juga menjadi perhatian penting. Kegagalan berbisnis kerap dipicu pola manajemen yang tak profesional alias salah urus. Wirausahawan pemula banyak yang lemah soal penegakan batas-batas kepentingan pribadi dan perusahaan. Uang perusahaan, misalnya, dipakai buat kepentingan pribadi atau keluarga. Praktik ini hampir selalu berulang dan terjadi pada para wirausahawan muda. Mereka cenderung tak tegas dalam menegakkan asas profesionalisme. Mencampur urusan pribadi dan perusahaan pada gilirannya akan mengganggu cash flow, atau setidaknya menghilangkan kesempatan tumbuh investasi baru. ?Menegakkan asas profesionalisme adalah prinsip bisnis paling mendasar," ujar Andrie Wongso, motivator, ahli entreprenuer yang juga pemilik PT Harvindo.
Agung Wijaya, pengusaha muda di bidang pelayaran mengaku menyesal karena lalai soal ini. Tahun 1999, bersama seorang mitranya dari Malaysia, ia mendirikan perusahaan agensi pelayaran, Bontang Lines. Tiga tahun bisnisnya terus tumbuh hingga ia punya 40 karyawan. Ia sendiri yang awalnya tak punya mobil, kemudian bisa memiliki tiga mobil pribadi yang bagus. Akan tetapi, bisnisnya kemudian kolaps dan mitranya undur diri. "Saya salah urus. Sebagian uang tak terasa saya ambil untuk urusan keluarga. Saya terlalu sering berlibur ke luar negeri," Agung mengakui, sembari menyebutkan campur tangan keluarganya yang terlalu besar dalam pengelolaan internal bisnis. Menurut Andrie, acap kali wirausahawan baru gagal sebab mereka tak sabar dalam mencanangkan pertumbuhan bisnis. Sebagian ingin langsung merasakan enaknya, termasuk omset miliaran rupiah. Akhirnya mereka tanpa banyak pertimbangan berutang ke bank untuk melipatkan modal. Yang berkecamuk di benaknya hanya bayangan indah-indah. Andrie melihat, banyak wirausahawan baru tak sabar pentingnya melakukan penahapan. "Semua usaha harus step by step. Yang terlalu memaksakan dengan pinjaman modal besar di awal biasanya malah jarang berhasil. Itu bukan entreprenuership," kata Andrie seraya menjelaskan bahwa penahapan dalam entreprenuership merupakan pembelajaran yang mahal dan tak bisa dipercepat.
Di sisi lain, kebanyakan usaha baru gagal karena mereka lupa mempersiapkan tahapan berikutnya. "Pokoknya mengerjakan yang di hadapannya saja.
Akibatnya sering terlalu reaktif terhadap kenyataan sesaat," tambah Tung Desem Waringin, konsultan kewirausahaan.Tung menengarai, cara berpikir seperti itu memicu kelalaian dalam mengontrol pertumbuhan skala usaha. Yang sering terjadi: ketika bisnis tumbuh dan pasar menguat, langsung melakukan investasi besar untuk rekrutmen SDM dan membangun pabrikasi. Padahal, belum diteliti dengan dingin dan seksama bagaimana peningkatan pasar itu terjadi, dan bagaimana struktur permintaannya di kemudian hari. Inilah antara lain jebakan yang kerap mengelabuhi para wirausahawan. Harus diingat, permintaan pasar yang besar di tahap awal bisa jadi hanya semu dan temporer. Dengan kata lain, kinerja bagus di tahun-tahun pertama jangan membuat berpuas diri.
Pelajaran menarik bagaimana mengontrol pertumbuhan dengan cara jeli ditunjukkan sejumlah pengusaha. Andi Bong, Direktur Pengelola PT Dwi Dua, yang membidangi logistik dan forwarding, umpamanya, berprinsip tidak asal memilih pelanggan. "Kami memprioritaskan pelanggan atau klien perusahaan garmen dan footwear. Karena umumnya mereka lebih stabil, sehingga tak repot dalam mengelola grafik naik-turun pekerjaan," tuturnya. Menurut Bong, relatif sulit berkembang bila klien-kliennya punya bisnis yang terlalu gampang naik-turun, meski kadang-kdang memberi pekerjaan yang besar. Hal ini terkait dengan kemampuan menyediakan SDM dan sumber daya pendukung usaha lainnya.
Kiat serupa juga diperlihatkan pengusaha biro iklan. Menurut Doni Prianto, Direktur Pengelola Avicom, perusahaan periklanan yang mampu bertahan dan tumbuh pada awalnya tak terlalu bernafsu menggaet proyek besar yang mercusuar. "Untuk pertumbuhan, mereka lebih suka mencari klien-klien yang memberi pekerjaan secara stabil sepanjang tahun, meskipun jumlahnya masih kecil. Hal itu menjadi basis atau fondasi buat operasional," ujar Doni yang bergabung dengan Avicom Advertising sejak tahun 2000.
Sering sukses-tidaknya sebuah usaha terkait dengan pemilihan mitra investasi. Rizal Khoir, bisa menjadi contoh wirausahawan muda yang bisnis rintisannya kini tak terlalu bagus gara-gara salah menggandeng mitra. Ceritanya, ketika menggeluti bisnis event organizer khusus melayani industri perminyakan, Rizal menggandeng investor baru untuk menambah kapitalisasi, sehingga posisi kepemilikan menjadi 40% buat Rizal dan 60% mitranya. Awalnya, kerja sama berjalan bagus sesuai konsep Rizal. Ia pun sempat memboyong timnya ke kantor yang lumayan megah di Jl. Jend. Sudirman, Jakarta. Namun apa lacur, tak lama kemudian perusahaan ini mulai kesulitan, sebab setelah mitranya mengambil alih manajemen, perusahaan kehilangan fokus: tak lagi fokus di perminyakan, tapi malah masuk di bisnis-bisnis yang tak relevan. "Kesalahan terbesar saya adalah terlalu tergesa-gesa memilih mitra untuk membesarkan usaha," ujarnya jujur.
Rizal menyebutkan, manajamen telah dipegang oleh orang yang tidak tepat. Ia menyesali terlalu cepat mengambil keputusan dan membiarkan bisnis event organizer yang dibangunnya selama tiga tahun diambil alih perusahaan besar yang sesungguhnya tak mengerti bisnis itu. Dari sini ia mendapat pelajaran untuk tidak terlalu berambisi mencapai sukses dalam waktu singkat. Erik Suryaputra, wirausahawan baru di bisnis resto, juga mengaku bisnisnya lamban sebab terlalu terburu-buru. Bukan dalam hal memilih mitra, melainkan menentukan lokasi dan jenis resto yang ia geluti.
Bersama 6 teman-temannya, Eric membangun Resto Klay dengan nilai investasi Rp 1,1 miliar, di kawasan Darmawangsa Square, sekitar 7 bulan lalu. Restonya punya positioning sebagai resto masakan Vietnam. Alasannya, semasa sekolah di Australia ia telanjur gandrung masakan negara bekas jajahan Amerika itu. Tak ada keahlian yang ia miliki di bisnis resto. Toh, ia punya bekal ilmu pemasaran semasa bersekolah di Negeri Kanguru. Namun apa daya, setelah 7 bulan bisnisnya masih berjalan lamban. Meski sejauh ini menurutnya lebih lumayan dibanding resto-resto di pusat bisnis anyar tersebut, Erik merasa amat lambat. "Jujur, bisnis ini jauh dari target yang diharapkan," katanya.
Bila mulanya ia menargetkan setahun modal kembali, nampaknya bakal sulit bila melihat kondisi saat ini. Klay rata-rata dikunjungi 30-40 orang/hari dari total kapasitas 70 kursi. Erik mengaku, kesalahannya dalam pemilihan lokasi. Ia tak melakukan survei terlebih dulu. Begitu punya konsep restonya langsung cari lokasi. Tak heran meski aktivitas promosi intens dilancarkan, tak mencapai hasil yang maksimal. Konsep resto menurutnya telah mengena. Target yang hendak dibidik pun tak meleset. Kendati demikian, tak membuat sarjana pemasaran lulusan Sydney, Australia ini menyerah. Gerai pertama boleh jadi tidak menguntungkan, tapi ia akan mencoba peruntungan di tempat lain dengan perhitungan yang lebih matang.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di muka, salah satu faktor krusial yang menentukan nasib wirausahawan baru adalah faktor organisasi. Sayang sekali, selama ini paling banyak muncul sindrom great boss, mediocre staff. Terdapat kesenjangan kewenangan dan kemampuan yang begitu jauh antara pimpinan (si entreprenuer) dengan anak buah. Hal ini sering menyebabkan bisnis tak berkembang karena yang menciptakan bisnis hanya si bos, sementara para staf hanya berperan administratif. Dengan kata lain, untuk menjalankan usaha, mesin organisasi harus berfungsi. Maksudnya, setiap usaha baru tidak boleh bertumpu hanya pada satu atau dua orang SDM. Mesin organisasi harus berjalan, sehingga siapa pun dalam perjalanan usaha itu keluar, perusahaan masih bisa berjalan dengan normal. Bila mesin organisasi sudah berjalan bagus, bisa jadi keluarnya orang tadi tak banyak berpengaruh. Bila selama ini yang menonjol hanya peran-peran individu, bisa dipastikan bisnis baru itu akan makin suram.
Tung mengevalusasi, sukses-tidaknya wirausahawan baru ditentukan tiga hal. Pertama, semangat kewirausahaannya. Faktor ini biasanya berpengaruh besar ketika menghadapi berbagai hambatan dan kegagalan. Kedua, kompetensi teknis di bidang yang digarap. Kompetensi teknis ini sebenarnya bisa dimiliki sendiri tapi bisa juga dari orang lain yang punya komptensi teknis. Dan ketiga, kemampuan manajerialnya. Dalam pengamatan Tung, selama ini banyak entreprenuer terjebak dengan kemampuan teknis semata. Misalnya ia membuka konsultan hukum, yang ia andalkan hanya penguasaan masalah hukum. Demimikian pula pengusaha resto, hanya belajar resep. "Bisnis seperti itu peluangnya untuk bisa bertahan dan awet memang besar, karena sudah punya kompetensi dasar. Tapi harus dicatat belum tentu bisnisnya bisa membesar," tuturnya. Pasalnya, menurut Tung, untuk membesarkan bisnis yang lebih dituntut ialah kemampuan manajerial, terutama soal manajer pengembangan SDM, memasarkan, keuangan, cash flow, mengoordinasi tim, dan lainnya.
Tung juga melihat selama ini kelemahan terbesar ialah soal manajemen cash flow. Persoalan mendasar biasanya kesulitan mengelola cash flow. "Banyak yang bangga modalnya cukup besar dan pemasarannya mulai jalan, tapi tak bisa membaca dan mengelola cash flow. Akhirnya kolaps," ujar Tung, yang melihat tak mungkin semua wirausahawan baru bakal sukses. Ia merujuk data di negara maju, 80% usaha baru mati di tahun pertama, dan kemudian 80% dari 20% yang tersisa akan habis pada empat tahun berikutnya. Jadi, setelah lima tahun yang bertahan hanya 4%.
Sementara itu, pakar motivasi yang juga Direktur PT Foerever Young Indonesia Andrie Wongso melihat, gagalnya entreprenuer baru karena tiga aspek. Pertama, faktor internal pengusaha. Misalnya, kemampuannya tak cukup atau semangatnya yang lemah. Kedua, kekuatan pemain lain yang lebih bagus. Jadi, si pengusaha sebenarnya sudah bagus tapi pesaingnya lebih bagus produk dan strategi pemasarannya lebih mengena. Ketiga, kondisi makro, misalnya resesi dunia atau krisis moneter. Andrie berpandangan, sebagian besar kegagalan wirausahawan baru justru lebih disebabkan hal nonteknis atau hal yang terkait dengan sikap mental. "Persentasenya lebih dari 70%," kata Andrie, yang dikenal sebagai salah satu pembicara termahal ini. Menurutnya, bila entreprenuer punya sikap mental bagus, seandainya tahu tanda-tanda bisnisnya akan gagal atau turun, ia akan bisa mencari jalan keluar.
Menurut Andrie, salah satu mentalitas yang tak kondusif ialah hanya berpikir yang indah-indah, sehingga ketika terjadi benturan dalam bisnis ia kaget. "Padahal tak ada yang indah. Justru harus melihat perjuangan itu sebagai hal yang indah," ungkap Andrie, yang melihat banyak wirausahawan baru tak mau berjuang mati-matian. "Tidak ada disiplin yang keras, sehingga kerjanya hanya ala kadarnya," lanjutnya. Sekali-dua kali gagal, misalnya dalam menjalin pemasaran atau mencari investor, sudah putus asa. "Padahal, semua atlet internasional yang superstar pun pasti pernah kalah," ujarnya membandingkan.
Penyakit lainnya, mudah merasa cukup sehingga lalai memikirkan visi dan tahapan berikutnya. "Tak ada visi belajar dan berkembang terus untuk melahirkan ide-ide dan intuisi bisnis baru," kata Andrie. Ia mencontohkan beberapa kolega bisnisnya yang bergerak di distribusi mesin faks yang kolaps karena masuknya komputer dan Internet. "Mereka ini tidak pernah belajar dan tak mau tahu peluang-peluang industri substitusi, sehingga tahu-tahu bisnis kolaps," ujarnya. Menurut Andrie, menjadi wirausahawan sukses dewasa ini, memang harus mau terus belajar dan berubah secara berkesinambungan sesuai dengan prinsip Jepang, Kaizen.
Reportase: Siti Ruslina. Riset: Siti Sumaryati. (swa)