Wednesday, April 14, 1999

Restrukturisasi Kredit, Bisnis Besar di Masa Krisis

Restrukturisasi Kredit, Bisnis Besar di Masa Krisis
KOMPAS - Rabu, 14 Apr 1999 Halaman: 3 Penulis: CC/TAT Ukuran: 7008
RESTRUKTURISASI KREDIT, BISNIS BESAR DI MASA KRISIS

KONSULTAN manajemen McKinsey & Company cabang Jakarta, memasang
iklan merekrut karyawan. Mereka menawarkan pekerjaan, yang bertujuan
membantu top managers menghadapi problem kompleks yang dihadapi
perusahaan di Indonesia. Mereka menginginkan pekerja yang bisa
menangani sejumlah persoalan yang dihadapi kliennya.
J
AKARTA Consulting Group juga sedang sibuk menawarkan diri, untuk
berperan serta dalam bisnis restrukturisasi. Juga tak heran jika di
Indonesia ini kini bertebaran nama-nama perusahaan konsultan seperti
KPMG, Ernst & Young, Price Waterhouse, dan Delloitte.

Kehadiran mereka itu merupakan fenomena gunung es. Dia hanya
merupakan indikasi yang terlihat di permukaan, yang menunjukkan
besarnya kebutuhan akan restrukturisasi perusahaan. Bayangkan,
semenjak di-bantai krisis, banyak perusahaan kelimbungan dan tak
tahu harus berbuat.

Modal, jelas merupakan satu kendala besar bagi perusahaan di
Indonesia, apalagi mereka juga dibelit tali temali utang. Akan
tetapi modal ternyata bukan masalah satu-satunya persoalan.
Sejumlah investor, bahkan kini sudah melirik untuk masuk kembali,
meski mereka masih dibuat mengambang oleh hiruk-pikuk politik dan
pertanyaan seputar pemilu.

Restrukturisasi utang, yang merupakan pinjaman dari perbankan
domestik, internasional dan lembaga keuangan internasional, juga
menjadi fokus dari sejumlah perusahaan. Reorganisasi perusahaan,
cabang, jaringan juga menjadi faktor lain yang membutuhkan sentuhan
tangan-tangan profesional.

Badai krisis ekonomi, benar-benar menghentakkan dan menyadarkan
korporasi di Indonesia, bahwa berbisnis cara kongkalikong dengan
pejabat sudah merupakan warisan masa lalu, yang harus ditinggalkan.
Kini mereka dipaksa menjadi sebuah perusahaan profesional, yang harus
menghadapi kenyataan akan adanya sebuah persaingan pasar. Perusahaan
di Indonesia, mau tidak mau harus meninggalkan bisnis dengan
mengandalkan "injak kaki" pejabat, meminta fasilitas kredit, fasilitas
pemasaran yang selama ini dengan mudah mereka dapatkan.

Itu baru sejumlah tugas yang sedang dan masih akan terus digeluti
oleh perusahaan yang kesulitan. Ada lagi, sebesar Rp 200 trilyun kredit
macet dari bank-bank pemerintah dan sejumlah bank yang dilikuidasi,
bank yang diambil alih, dan bank yang mendapatkan rekapitalisasi dari
pemerintah, yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional
untuk menutupi utang pemilik bank ke pemerintah (BI).

Itu menjadi lahan bisnis bagi perusahaan konsultan asing maupun
domestik. BPPN sendiri dengan tenaga terbatas, dipastikan tidak akan
mampu menangani semua pekerjaan restrukturisasi kredit macet itu.
"Itu akan kita kontrakkan juga perusahaan konsultan asing dan domestik.
Jadi sebenarnya pekerjaan restrukturisasi itu merupakan kesempatan besar
bagi perusahaan lokal sebagai lahan bisnis sekaligus mendalami tetek
bengek restrukturisasi," kata Corporate Secretary BPPN, Christovita
Wiloto.

Mengapa itu menjadi bisnis besar. Indonesia sudah mendapatkan
komitmen setidaknya 43 milyar dollar AS dari IMF dan konsorsium
lainnya. Sebagian dana itu, justru akan dialokasikan ke pembiayaan
restrukturisasi perusahaan. Pinjaman itu memang akan berstatus sebagai
utang pemerintah, namun bagi pelaku bisnis terutama konsultan, juga
sekaligus menjadi lahan penghasilan di masa krisis karena dipakai
untuk biaya merestrukturisasi bank.

Lagi pula, Christovita menegaskan, menghadapi tumpukan kredit
macet itu, BPPN hanya akan menempuh langkah terakhir mempailitkan,
jika pemilik perusahaan (yang juga pemilik bank) dinilai memiliki
itikad tidak baik dalam soal restrukturisasi atau pembayaran
kewajiban.

Namun demikian, selama masih bisa BPPN tetap akan memilih cara
restrukturisasi termasuk menjadwalkan kembali kredit, menambah
pinjaman atau debt-to-equity swap (utang perusahaan dikonversikan
menjadi saham bagi penyuntik modal baru. Kegiatan seperti itu, juga
terjadi di Amerika Latin sejak dekade 1980-an.

"Soalnya kita juga memperhitungkan dampak terhadap karyawan dan
sektor riil atau harus perekonomian secara keseluruhan, jika karyawan
itu dipailitkan," ujarnya.

Akan diteliti, mana perusahaan yang masih layak tetapi membutuhkan
modal. Maka besar kemungkinan, utang perusahaan seperti akan
diperpanjang. Juga tidak tertutup kemungkinan, perusahaan tersebut
akan bisa mendapatkan kembali kredit baru.
Itu baru soal restrukturisasi utang. BPPN juga disibukkan dengan
urusan penempatan manajer atau eksekutif yang dinilai mampu membawa
pemulihan pada perusahaan.

Bagi perusahaan, yang sudah diseleksi, sebagian jelas akan dijual
ke investor asing atau domestik. Dari Rp 200 trilyun aset yang ada di
tangan BPPN, target BPPN adalah bisa menghimpun Rp 27 trilyun dana-untuk
rekapitalisasi bank-dari penjualan aset pada tahun ini.

Itu diyakini ini akan tercapai. "Lagi pula para investor asing
sudah mulai masuk dan melakukan approach dengan kita," kata Christovita
menolak menyebutkan investornya karena sifatnya masih penjajakan dan
belum final.

"Dari sekian aset yang ada di BPPN pasti ada yang mudah dijual,"
ujarnya. BPPN sendiri sudah mengklasifikasikan aset-aset tersebut
berdasarkan ting-kat likuiditasnya, mulai dari kelompok platina
(paling likuid), emas, perak hingga perunggu.
Aset likuid itu antara lain berupa perusahaan-perusahaan yang
sejak awal memang sudah ada yang berminat karena memiliki pangsa
pasar yang cukup bagus di Indonesia atau di negara di mana dia
berada, serta memiliki kondisi finansial dan keuntungan yang baik.
Untuk urusan restrukturisasi, pemerintah kini juga sedang
melibatkan berbagai instansi. Depperindag, merupakan salah satu
instansi yang juga terlibat. Perusahaan yang akan mendapatkan
konversi itu, adalah mereka yang lolos seleksi earning capacity
analisys.

"Untuk itu Depperindag kini sedang meneliti sekitar 200 komoditi
yang masih mempunyai kemampuan tinggi untuk menghasilkan uang," kata
Menperindag, Rahardi Ramelan. Kemudian, dari daftar komoditi itu,
dicocokkan dengan kegiatan bisnis perusahaan apakah turut menggelutinya
atau tidak. Semua langkah itu, dimaksudkan bahwa penggerakan ekonomi
bisa dimulai, dan masalah restrukturisasi perbankan sudah selesai. (
cc/tat)

Grafik:
sadnowo
POSISI KREDIT PER SEKTOR, JANUARI 1999
(dalam milyar rupiah)
Pertanian 40,050
Pertambangan 6,271
Perindustrian 181,345
Perdagangan 99,036
Jasa-jasa 143,204
Lain-lain 34,376
POSISI KREDIT RUPIAH DAN VALUTA ASING
SELURUH BANK UMUM (dalam milyar rupiah)
1992 122,918
1993 150,271
1994 188,880
1995 234,611
1996 292,921
1997 Trw IV 378,134
1998 Des 487,426
1999 Jan 504,282

Kajian Ulang Bukan untuk Likuidasi

Kajian Ulang Bukan untuk Likuidasi
KOMPAS - Rabu, 14 Apr 1999 Halaman: 2 Penulis: CC/MON Ukuran: 2392
KAJIAN ULANG BUKAN UNTUK LIKUIDASI

Jakarta, Kompas
Kajian ulang yang dilakukan untuk meneliti sembilan bank yang
diputuskan ikut rekapitalisasi 13 maret 1999 lalu, semata-mata untuk
meneliti kebutuhan persis modal. Itu tidak ada kaitannya soal
likuidasi, tetapi sekadar mengukuhkan kepastian jumlah dana yang
dibutuhkan untuk rekapitalisasi. Demikian diutarakan Corporate
Secretary Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Christovita Wiloto,
kepada Kompas, Jakarta, Selasa (13/4).

Hal itu sekaligus menjawab kekhawatiran nasabah dari sembilan
bank tersebut-Bank Patriot, Bukopin, Bank Media, Bank Lippo, BII,
Prima Express, Niaga, Bali, dan Universal-yang mempertanyakan apa
maksud dari kajian ulang tersebut. "Tolong sampaikan, agar pejabat
otoritas moneter hati-hati memberikan pernyataan. Kita seringkali
dibuat kerepotan oleh pernyataan yang bernada tidak jelas," kata
bankir dari salah satu yang direkapitalisasi itu.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua BPPN Eko S Budianto, mengatakan
BPPN sedang menyiapkan sebuah bank untuk menampung utang-utang
debitor dari 38 bank terlikuidasi. Itu untuk mempermudah penyelesaian
utang para nasabah debitor dengan bank-bank terlikuidasi tersebut.
Dengan pembukaan sebuah rekening di sebuah bank, para debitor
dapat membayar utang di mana pun mereka berada. "Dalam minggu ini
kita akan memfinalisasi persiapannya, dengan melihat bank yang
network-nya on line secara nasional, seperti Bank Central Asia (BCA),
Bank Danamon, BankExim dan Bank Rakyat Indonesia (BRI)," katanya,
tanpa menjelaskan apa saja tiga bank yang dimaksud.

Eko menambahkan, para debitor tidak diharuskan langsung membayar
lunas kewajiban utang mereka, tetapi tetap memakai aturan main sesuai
ketentuan pada bank sebelumnya. "Para debitor itu juga tidak akan
dikenakan denda karena keterlambatan mereka mengurus pembayaran utang,
sebab masalah ini bukan menjadi kesalahan debitor," ujarnya.
Mengenai kredit macet beberapa perusahaan besar di bank-bank
pemerintah, selain Chandra Asri, tutur Eko, perusahaan Tirtamas Grup
termasuk di dalam perusahaan yang memiliki kredit macet sekitar
Rp 2.000 milyar di bank-bank BUMN itu.

Ia menambahkan, BPPN akan mempertimbangkan beberapa segi untuk
memutuskan apakah perusahaan dari debitor-debitor besar itu layak
dipertahankan. (cc/mon)