Monday, June 28, 1999

Debitor Khawatirkan Pengambilalihan Paksa

Debitor Khawatirkan Pengambilalihan Paksa
KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 15 Penulis: MON/FEY Ukuran: 4586
DEBITOR KHAWATIRKAN PENGAMBILALIHAN PAKSA

Jakarta, Kompas
Salah satu kekhawatiran para debitor dalam menghadapi Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah ketakutan akan adanya
tindakan pengambilalihan paksa (hostile take over). Pengambilalihan
paksa dengan memanfaatkan "bolong-bolong" perusahaan, terutama utang
yang menumpuk sudah terjadi. Ada kalanya, muncul investor dengan wajah
tersenyum tetapi punya niat untuk memangsa, terutama perusahaan yang
tergolong prospektif.

Demikian sejumlah investor besar, yang takut bersuara terus terang
tetapi memahami akan adanya bahaya tersembunyi di balik undangan
BPPN itu.

Untuk memperkuat argumentasi tersebut, sumber Kompas memberi
contoh soal sebuah hotel di Jakarta yang kini sudah lepas dari
permasalahan terkait dan dimiliki seorang pejabat pemerintah yang
berduit. "Awalnya, dia datang bak seorang investor, tetapi tiba-tiba
telah mengambil posisi sebagai pemilik hotel tersebut," katanya.
Hal senada juga diakui oleh Dirut PT Apac Inti Corpora Benny
Soetrisno, kepada Kompas pekan lalu. Menurut Benny, praktik seperti
itu ada. Kekhawatiran debitor itu, katanya, sangat masuk akal karena
ada debitor yang usahanya prospektif tetapi kemudian muncul investor
yang mengincar usaha terkait dengan memanfaatkan BPPN.

Ketakutan seperti itu, kata Benny, merupakan salah satu alasan
di balik kekhawatiran debitor menandatangani surat pernyataan sanggup
sebelumnya, yakni kesanggupan membayar biaya negosiasi restrukturisasi
utang, kesanggupan untuk rela melepas kepemilikan saham jika tak bisa
menambah modal.

Namun demikian, debitor menghadapi situasi dilematis juga.
Jika tak bersedia menandatangani surat kesanggupan, di sisi lain BPPN
akan mengenakan sanksi hukum. Pengenaan sanksi hukum, artinya bisa
juga dinyatakan pailit dan debitor akan dihadapkan pada para juru sita
BPPN.

Karena itu Benny Soetrisno mengatakan, BPPN perlu memerangi
beban psikologis para debitor. "Seyogianya jangan dimunculkan kesan
yang membuat debitor ketakutan karena seperti dihadapkan pada situasi
yang menjebloskan perusahaannya," katanya. Dengan situasi tanpa
ketakutan, menurut Benny, suasana perundingan kemungkinan besar bisa
dilakukan dengan lebih lancar.

Kekhawatiran akan adanya hostile take over itu, membuat
sejumlah debitor kini mendekati bank-bank pemerintah untuk merekayasa
kategori kredit pada debitor terkait, terutama yang belum dialihkan ke
BPPN. Tujuannya, agar posisi debitor tetap berada di kategori pemilik
kredit kurang lancar atau diragukan, alias belum masuk ke kategori
macet. Begitu pinjaman debitor-pemilik kredit di atas Rp 5
milyar-masuk kategori macet, akan dialihkan ke BPPN.
Rekayasa seperti itu juga seperti mendapat angin di lembaga
pemerintah tertentu, yang mendukung keinginan bank-bank pemerintah
agar debitornya tidak dialihkan ke BPPN. "Karena begitu masuk ke BPPN,
pejabat yang ditumpangi investor yang sedang mengincar usaha
prospektif tidak akan bisa berbuat apa-apa, karena BPPN mencoba
bertindak transparan," kata sumber di kalangan debitor.

Menanggapi hal tersebut, Dirut BRI Djoko Santoso Moeljono
mengatakan, tidak ada rekayasa agar debitor tidak masuk ke kategori
sebagai pemilik kredit macet. "Memang dari debitor yang kita undang,
kemudian muncul pernyataan secara beramai-ramai untuk berunding
setelah menerima undangan. Pada debitor tertentu yang punya usaha
prospektif, ada kalanya diberi keringanan dalam pembayaran bunga
pinjaman, tetapi tidak dalam pembayaran pokok pinjaman. Kita melakukan
pendekatan kemanusiaanlah," katanya.

Sementara itu Sekretaris BPPN Christovita Wiloto mengatakan,
debitor tidak usah khawatir. BPPN, katanya, bukan lembaga penjerumus
investor. Dari skema yang disusun soal restrukturisasi utang, jelas
sekali keberadaan pemberian keringanan pembayaran utang bagi pada
debitor, meski sama sekali tidak memberikan pemotongan utang.
Menurut dia, BPPN juga mencoba menyelamatkan aset-aset
debitor, demikian pula pekerjanya, serta menghindari adanya penjualan
aset-aset murah. "Debitor tidak perlu takut. Yang penting dalam
negosiasi ada keterbukaan, sehingga solusi terbaik bisa dicapai,"
katanya.

Christovita juga mengatakan, sejauh ini, bisa dikatakan para
debitor menunjukkan sikap kooperatifnya. Setidaknya sudah 174
debitor-dari 220 debitor yang dijadikan prioritas-yang menandatangani
surat penyataan sanggup, meski batas waktunya adalah tanggal 30 Juni
1998.(mon/fey)