Tuesday, December 28, 1999

Penjualan Astra Tentukan Kepercayaan Investor Asing

Penjualan Astra Tentukan Kepercayaan Investor Asing
KOMPAS - Selasa, 28 Dec 1999 Halaman: 2 Penulis: GUN/FEY Ukuran: 2866
PENJUALAN ASTRA TENTUKAN KEPERCAYAAN INVESTOR ASING

Jakarta, Kompas
Sukses tidaknya penjualan saham PT Astra International Tbk, akan
mempengaruhi keputusan investor asing untuk menanamkan modal di
Indonesia. Jika sejak awal proses penjualan saham PT AI sudah tidak
transparan seperti sekarang, jangan berharap investor asing termasuk
investor properti mau membeli aset yang dikuasai BPPN.
Demikian diingatkan Managing Director Colliers Jardine Indonesia,
Dinna Erwinn, menjawab pertanyaan pers di Jakarta, Senin (27/12).
Colliers Jardine adalah salah satu perusahaan konsultan properti di
Indonesia.

Sebelum ini, berbagai kalangan juga mengungkapkan keprihatinannya
terhadap rencana akuisisi 40 persen saham Astra oleh dua investor AS
yang tak transparan, yang dikhawatirkan akan mengulangi kasus akuisisi
Bank Bali oleh Standard Chartered Bank (SCB) yang bermasalah dan
akhirnya dibatalkan.

Seperti diketahui saat ini sudah ada dua investor asing yang
akan membeli saham PT AI, Gilbert Global Equity Partners LP (GGEP) dan
Newbridge Asia II LP (Newbridge). Gilbert dan Newbridge telah ditunjuk
BPPN sebagai preferred bidder untuk membeli 40 persen saham Astra yang
dikuasai BPPN.

Menolak komentar
Agency Secretary BPPN Christovita Wiloto menolak memberi keterangan
tentang persoalan PT Astra Internasional. Christovita mengatakan, hal
itu sebaiknya ditanyakan langsung kepada Ketua Asset Management
Investment BPPN, Farid Harianto, yang juga menjabat Deputi Kepala BPPN.
Menurut Dinna, proses seleksi dan terpilihnya preferred bidder
tidak diketahui masyarakat. Padahal jika kedua investor itu
mengundurkan diri, sementara waktu yang tersedia bagi BPPN sudah
sangat mendesak, maka BPPN tidak memiliki alternatif investor lain.
Preferred bidder juga mendapat hak istimewa, right to match.

Dengan pola seperti itu, jelas Dinna, akan mendorong kedua investor
sebagai preferred bidder untuk tidak menawarkan harga yang optimal
karena masih ada kesempatan untuk meningkatkannya jika ada penawaran
lain yang lebih tinggi pada akhir proses tender.

Misalnya, preferred bidder A menawarkan harga Rp 3.750 per
saham. Harga tersebut belum mencerminkan harga tertinggi sehingga
kalau ada calon investor B memberikan penawaran Rp 4.000/saham, maka
preferred bidder A mempunyai hak istimewa right to match atau hak
untuk menyamakan nilai penawaran menjadi Rp 4.000. Jadi apa pun yang
terjadi, yang berpeluang menjadi pemenang tetap preferred bidder A.
"Selain dari media massa, kita mengetahui masalah Astra ini
dengan menanyakan langsung ke BPPN. Bagi kami ini penting karena
sekarang semua orang sedang melihat apa yang terjadi dengan proses
penjualan Astra. Semua seharusnya diundang tanpa ada yang ditutup-
tutupi," papar Dinna. (gun/fey)

BPPN Beberkan Kredit Macet Grup Djajanti

BPPN Beberkan Kredit Macet Grup Djajanti
KOMPAS - Selasa, 28 Dec 1999 Halaman: 1 Penulis: FEY/TOM/AS Ukuran: 5819
BPPN BEBERKAN KREDIT MACET GRUP DJAJANTI

Jakarta, Kompas
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Senin (27/12)
mengumumkan obligor terbesar kesembilan BPPN, yakni kelompok usaha
Djajanti, yang terlibat kredit macet senilai Rp 2,685 trilyun plus
24 juta dollar AS. Grup Djajanti adalah kelompok usaha milik
keluarga Burhan Uray.

Kredit macet grup Djajanti itu dibeberkan Secretary Agency BPPN,
Christovita Wiloto, dan Group Head Loan Work Out and Collection BPPN,
Andreas Bunanta. Sebelumnya, secara rutin BPPN mengumumkan dua
obligor setiap minggunya.

Grup Djajanti terdiri atas delapan perusahaan, yaitu PT Artika
Optima Inti, PT Nusantara Plywood, PT Agoda Rimba Irian, PT Kamundan
Raya, PT Teluk Bintuni MAK, PT Nusa Prima Pratama Industry, PT
Djajanti Plaza, dan PT Hasil Citra Laut. Dari delapan perusahaan itu,
tiga tergolong tidak kooperatif karena menolak menandatangani letter
of commitment/LoC (surat pernyataan sanggup), dan lima untuk
sementara tergolong kooperatif.

Tiga perusahaan yang tergolong tidak kooperatif adalah PT Agoda
Rimba Irian, PT Kamundan Raya, dan PT Teluk Bintuni MAK. Penanganan
ketiga perusahaan itu telah dialihkan ke Divisi Hukum (Legal Division)
BPPN.

Andreas menuturkan, grup Djajanti menolak menandatangani LoC
ketiga perusahaan itu, dengan alasan ketiga perusahaan tersebut bukan
penerima utang bank. Menurut grup Djajanti sebagaimana dipaparkan
Andreas, utang ketiga perusahaan itu berasal dari PT Artika Optima
Inti. Namun, menurut perjanjian kredit yang ada di BPPN, ketiga
perusahaan itu adalah peminjam (debitor).

"Sementara lima perusahaan yang kooperatif, yakni PT Artika Optima
Inti, PT Nusantara Plywood, PT Nusa Prima Pratama Industry, PT
Djajanti Plaza, dan PT Hasil Citra Laut, sewaktu-waktu bisa saja masuk
kategori tidak kooperatif, karena kelimanya tidak menjalankan komitmen
dalam LoC yang ditandatangani," jelas Andreas.

Terhadap kelima debitor yang sementara dianggap kooperatif, sedang
dilakukan proses restrukturisasi dengan financial advisor
Widari-Lazard Asia, auditor Deloitte Touche Tohmatsu, dan legal
advisor Lubis Ganie Surowidjojo. Namun, proses restrukturisasi kelima
perusahaan tersebut dinilai lamban oleh BPPN.

"Penyebab lambannya restrukturisasi kelima perusahaan itu antara
lain, Grup Djajanti tidak menyediakan data memadai sehingga auditor
terpaksa menghentikan pekerjaan dengan progress sangat minim, tagihan
biaya due diligence dari auditor terlambat dibayar, tertundanya
penunjukan legal advisor, serta pihak manajemen tidak memberi cukup
waktu untuk berdiskusi dengan auditor dan advisor," kata Andreas.

Dengan kata lain, demikian Andreas, meskipun telah menandatangani
LoC, kelima perusahaan itu dengan sengaja tidak melaksanakan isi LoC.
"Oleh karena itu, kapan saja kelima perusahaan itu bisa dianggap
tidak kooperatif dan selanjutnya dilimpahkan ke Divisi Hukum BPPN,"
lanjutnya.

Penjelasan Soejono Varinata
Presdir Grup Djajanti, Soejono Varinata, yang dihubungi terpisah,
mengakui, pihaknya memiliki utang sebesar 70 juta dollar AS kepada
Bank Dagang Negara. Hanya saja utang tersebut merupakan tanggungan
PT Artika Optima Inti (AOI), bukan tiga perusahaan PT Agoda Rimba
Irian, PT Kamundan Raya, dan PT Teluk Bintuni MAK yang dinilai BPPN
tidak kooperatif.

"Kami memiliki kesepakatan dengan BDN bahwa utang tersebut
merupakan tanggungan AOI, meski tercatat atas ketiga perusahaan itu.
Kami sepenuhnya mengakui utang itu dan berusaha untuk
menyelesaikannya. Jadi jangan dianggap tidak kooperatif," jelas
Soejono.

Terhadap lima perusahaan lain, Soejono menambahkan, pihaknya
telah menandatangani LoC dengan BPPN. Selain itu, pihaknya telah
menentukan penasihat hukum, auditor, dan financial consultant
seperti yang ditawarkan BPPN.

"Sekarang kami ikut saja apa yang dimaui BPPN. Tentu saja saya
mengharapkan agar akhirnya tercapai win-win solution. Sebab harus
diingat bahwa ayah saya (Burhan Uray, Preskom Djajanti Group-Red.)
telah membangun hubungan dengan BDN dan juga kelompok ini bukan baru
kemarin, tetapi sudah sejak 40 tahun lalu," tutur Soejono.

Ketika ditanyakan besar utang yang dimiliki kelompoknya, Soejono
menjelaskan bahwa sebelum krisis ekonomi, utang kelompok Djajanti
hanya Rp 600 milyar. Oleh karena tergiur suku bunga dollar yang
rendah, kemudian utang itu dikonversi menjadi dollar, sehingga
tercatat utang itu sekitar 300 juta dollar AS. Ternyata kemudian
nilai rupiah anjlok.

"Karena takut rupiah melemah lebih dalam, kami memutuskan untuk
mengkonversi lagi ke rupiah. Pada posisi Rp 8.000, utang Rp 600
milyar itu membengkak menjadi Rp 2,4 trilyun. Kini kami memiliki
kewajiban mencapai Rp 4 trilyun, karena terkena bunga yang mencapai
40 persen per tahun," ujar Soejono pasrah.

Sebelumnya, Soejono kepada Kompas, Sabtu lalu, juga menegaskan,
sejauh ini perusahaannya berusaha untuk bekerja sama sebaik-baiknya
dengan BPPN. Pihaknya menandatangani sejumlah kesepakatan, kecuali
jika Djajanti merasa tidak perlu melakukannya.

Ia juga mengungkapkan, basis bisnisnya di Maluku, ikut terganggu
oleh kerusuhan di Ambon dan sekitarnya. Para karyawan banyak yang
minta cuti panjang atau minta keluar, karena tidak ingin terkena imbas
bentrokan di Ambon dan sekitarnya.

Akibatnya, industri di beberapa tempat di Maluku sangat terganggu.
Beberapa di antaranya tidak bisa berfungsi sama sekali. Hal serupa
juga terjadi di Irian Jaya. "Ini semua menyebabkan beban perusahaan
untuk membayar utang semakin berat. Kami sangat ingin kooperatif,
tetapi dengan kondisi eksternal seperti ini, apa yang dapat kami
lakukan?" keluh Soejono. (fey/tom/as)